Laman

Jumat, 23 Juli 2010

IMAM MAHDI DARI SUDUT KRISTOLOGY

Bagi setiap penganut agama, konsep mesianisme atau ideologi agama yang mengajarkan tentang “the ultimate salvation of human race” (penyelamatan akhir bangsa manusia) dari kenistaan, penin­dasan dan kehancuran melalui seorang manusia pilihan Tuhan, bukan suatu hal yang aneh dan mengejutkan. Lima agama besar yang mendominasi dunia—termasuk Islam—menyatakan bahwa mereka meyakini konsep mesianisme.

Sedikit yang kita ketahui bahwa ajaran agama Hindu dan Budha ternyata memiliki figur mesianistik. Pada salah satu teks kuno India, yaitu Visnu Purana, disebutkan bahwa di penghujung periode kali Yuga (era terburuk dari era-era sebelumnya), akan datang seorang kalki atau “Sang Penunggang” yang merupakan “the tenth avatar” atau inkarnasi kesepuluh dari Wisnu. Menurut riwayat, Kalki akan datang ke dunia sambil menunggangi seekor kuda putih dan meng­genggam sebilah pedang api untuk menumpas segala bentuk kejahatan dan mengembalikan nilai-nilai kesucian.

Sedangkan menurut ajaran Budha, disebutkan bahwa Siddhartha Gautama meramalkan datangnya seorang Budha yang lain atau the Buddha to come di masa yang akan datang. Budha yang akan datang ini bernama Mettaya (dalam bahasa Sansekerta disebut; Maitreya), artinya adalah “cinta”. Menurut riwayat, Sang Mettaya akan datang untuk menegakkan sebuah kerajaan ideal dimuka bumi. Sebuah kerajaan yang akan memerintah dengan keadilan dan penuh keda­maian.

Agama-agama samawi atau ajaran yang berpangkal kepada figur Ibrahim seperti Yahudi, Kristen dan Islam juga meyakini akan datangnya seorang Mesiah. Umat Yahudi, melalui ajaran Tanakh mempercayai akan datangnya seorang Mesiah Tuhan untuk mene­gakkan agama, kerajaan Tuhan dan keadilan di muka bumi. Demikian pula halnya dengan umat Kristen. Dalam ajaran Bibel, mereka mempercayai kedatangan Yesus yang kedua untuk menegakkan “The Heavenly Kingdom on earth” atau Kerajaan Surga di bumi dengan kebenaran dan keadilan.

Umat Islam melalui ajaran Kitab Suci Al-Qur’an dan hadis-hadis Baginda Rasulullah saw, juga meyakini akan datangnya seorang manusia yang bergelar al-Mahdi menjelang akhir zaman untuk mene­gakkan ajaran Islam dan kebenaran, menuai kebatilan serta menabur keadilan. Banyak riwayat hadis-hadis Nabi saw yang telah dicatat oleh para perawi hadis kelas pertama Suni dan Syiah tentang keda­tangan al-Mahdi untuk menyelamatkan Islam dan pengikutnya dari keterpurukan dan kehancuran.

***
Dalam ilmu-ilmu keislaman ada sebuah bidang studi perban­dingan agama yang sering disebut dengan ilmu Kristologi. Ilmu ini merupakan studi kristis para cendikiawan Islam terhadap agama Yahudi dan Kristen. Mereka mempelajari secara mendalam teks-teks al-Kitab dan hal-hal yang terkait dengan akidah dua agama tersebut. Kata Kristologi sendiri tidak memberikan arti bahwa ilmu ini hanya mempelajari agama Kristen semata-mata, tetapi membahas teologi, filsafat, bahasa dan sejarah bangsa Israel dan ideologi Yahudi. Dari sisi etimologi, Kristologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Kristos” dan “Logos”. “Kristos” berarti yang diurapi atau “Messiah” menurut lisan bangsa Semit, sedangkan Logos artinya adalah ilmu.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Kristologi adalah mempelajari ke-Mesiah-an atau nubuat-nubuat al-Kitab yang membicarakan tentang figur-figur Mesianistik atau orang-orang yang diurapi Tuhan. Almarhum Syaikh Ahmad Deedat dan Profesor Abdul Ahad Dawud merupakan dua pakar dan figur legendaris Islam dalam bidang Kristologi. Ilmu ini mempelajari nubuat-nubuat penting yang menyatakan tentang keda­tangan Nabi Muhammad saw dalam al-Kitab.

Melalui pengantar yang singkat ini, kita tidak akan membahas secara komprehensif nubuat-nubuat mesianistik dalam al-Kitab. Namun, dengan metode pendekatan yang sama sebagaimana digu­nakan oleh para Kristolog Muslim untuk membuktikan kebenaran nubuat-nubuat Nabi Muhammad saw dalam al-Kitab, kita juga akan mengaplikasikan cara serupa untuk membuktikan nubuat-nubuat kedatangan Imam al-Mahdi dalam al-Kitab.

Dalam hal ini, bukan sebuah rahasia bahwa berdasarkan doktrin dan keyakinan umat Yahudi terhadap al-Kitab, umat Yahudi sendiri sesungguhnya mempercayai akan munculnya dua figur mesianistik: pertama adalah kedatangan “Sang Nabi Elia”; sedangkan kedua adalah kedatangan “Sang Mesiah Tuhan” yang menurut kepercayaan mereka berasal dari suku Yehuda keturunan Nabi Daud as.

Berkenaan dengan figur mesianistik pertama atau orang yang disebut dengan “Sang Nabi Elia”, dijelaskan bahwa dia akan datang sebelum kedatangan “Sang Mesiah Tuhan”. Hal ini telah dinubuatkan dalam kitab terakhir Perjanjian Lama yang disebut sebagai Maleakhi atau Malakhai. Ayatnya adalah sebagai berikut:

Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak ADON (Tuan) yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! (Maleakhi 3: 1)
Dan pada ayat selanjutnya:

Sesungguhnya Aku akan mengutus Nabi Elia kepadamu men­jelang datangnya hari tuhan yang besar dan dahsyat itu. (Maleakhi 4: 5)

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa berdasarkan catatan historis al-Kitab, Elia[1] adalah seorang nabi Tuhan yang pernah mengunjungi bangsa Israel di masa lalu. Dia datang tidak lama setelah terpecahnya kerajaan Israel Raya menjadi dua wilayah kekuasaan selepas wafatnya Nabi Sulaiman as. Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Yudea di Selatan dengan ibukota bernama Yerusalem dan Kerajaan Samaria di Utara dengan ibukota bernama Sikhem.

Menurut al-Kitab, Nabi Elia as adalah nabi Tuhan yang muncul di kerajaan Israel Utara. Dia berdakwah, menegur para penguasa dan menumpas para penyembah Baal yang merupakan nabi-nabi palsu yang berkembang luas di wilayah tersebut. Misi kenabian Elia sarat dengan mukjizat Allah. al-Kitab meriwayatkan beberapa mukjizatnya yang terbesar, yaitu menahan hujan hingga dia menghendakinya,[2] Tuhan memberinya makan melalui burung-burung gagak yang meng­antarkan roti kepadanya,[3] menghidupkan orang mati[4] dan menu­runkan api dari langit.[5] Ketika Elia as wafat, Tuhan meng­angkat ruh beserta tubuhnya ke langit, sehingga Elia as tidak diku­burkan di bumi.[6] Berkaitan dengan nubuat Maleakhi tersebut, dia menjanjikan bahwa “Sang Nabi Elia” akan muncul untuk yang kedua kalinya sebelum tibanya Hari Tuhan yang besar dan dahsyat. Maleakhi, Sang Pemberi nubuat, hidup ratusan tahun setelah periode Nabi Elia as.

Oleh sebab itu, janji Maleakhi sesungguhnya mengindikasikan kepada nubuat mesianistik. Sekalipun hidup ratusan tahun setelah Nabi Elia as, tapi Maleakhi masih tetap menjanjikan datangnya “Sang Nabi Elia” yang kedua setelah kedatangannya yang pertama di masa lalu.

Figur mesianistik kedua menurut kepercayaan umat Yahudi adalah Sang Mesiah Tuhan. Umat Yahudi sangat menghormatinya dan al-Kitab sendiri memang memberikan kedudukan yang amat tinggi dan terpuji untuknya. Setiap nabi dan rasul Tuhan yang mengunjungi bangsa Israel selalu mengingatkan mereka akan keda­tangannya di kemudian hari. Menurut al-Kitab, Sang Mesiah adalah sosok sempurna makhluk Tuhan, pendekar langit sejati, putra Tuhan (baca: nabi atau rasul) yang sulung; para malaikat dan penghuni langit kerap memujinya, senyampang penghuni bumi bangga dan menanti kehadirannya.

Demi kecintaan Tuhan kepadanya, al-Kitab memberitahukan bahwa Tuhan akan meremukkan setiap makhluk ciptaan-Nya yang menyombongkan diri di hadapan Mesiah-Nya. Dalam al-Kitab, Sang Mesiah diberi gelar Adon yang dalam bahasa Ibrani berarti “Tuan”. Kitab Mazmur mencatat sebuah nubuat agung tentang Sang Mesiah yang dipanggil oleh Nabi Daud as sebagai “Tuanku”:

Demikianlah firman Tuhan kepada Tuanku: “Duduklah di sebelah kananKu, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu.” (Mazmur 110:1)

Sedangkan Nabi Yesaya as pada salah satu nubuatnya mengenai Sang Mesiah menyatakan sebagai berikut:

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita, lambang pemerintahan ada diatas bahu­nya, dan namanya disebut orang: Penasehat Ajaib, Allah Yang Perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai. (Yesaya 9: 5)

Nabi Yesaya as juga menubuatkan bahwa Sang Mesiah akan menghancurkan berhala dan mengalahkan para penyembahnya:

Orang-orang yang percaya kepada patung pahatan akan ber­paling ke belakang dan mendapat malu, yaitu: orang-orang yang berkata kepada patung tuangan: “kamulah allah kami!”

Nabi Hagai as dalam sebuah nubuatnya menyatakan bahwa keda­tangan Sang Mesiah akan menggoncangkan segenap bangsa di dunia, lantaran dia akan mengokohkan Rumah Tuhan serta memberikan damai sejahtera untuk selama-lamanya:

Aku akan menggoncangkan segala bangsa, sehingga HIMDAH[7] kepunyaan dari segala bangsa akan datang menga­lir, maka Aku akan memenuhi Rumah ini dengan keme­gahan, …Adapun Rumah ini, kemegahannya yang kemudian akan melebihi kemegahannya yang semula,…dan ditempat ini Aku akan memberi damai sejahtera [syalom; atau salam], demi­kianlah firman Tuhan semesta alam. (Hagai 28-10)
Demikianlah sekilas ungkapan penghormatan dari al-Kitab kepada Sang Mesiah.

***

Menurut keyakinan umat Yahudi hingga saat ini, Sang Mesiah yang dijanjikan dalam al-Kitab itu belum kunjung tiba dan demikian pula halnya dengan “Sang Nabi Elia”. Konsep ini jelas berbeda dengan ajaran Kristen, karena komunitas yang meyakini kenabian dan kerasulan Isa as serta Kitab Injil menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesiah Tuhan yang pernah dinubuatkan dalam al-Kitab ter­sebut.

Kita tentu tidak akan membahas materi di atas secara mendalam. Yang jelas, selain banyaknya masalah kerancuan pemberitaan Kitab-kitab Injil Kanonik Kristen saat ini, klaim Kristen yang menyatakan bahwa Yesus adalah Mesiah keseluruhan umat manusia ternyata telah memunculkan kontradiksi yang luar biasa dalam konteks pemahaman terhadap sejumlah nubuat al-Kitab itu sendiri. Kerancuan itu ber­sumber pada kenyataan bahwa apabila Yesus adalah Sang Mesiah, maka siapakah “Elia” yang akan datang itu? Mengenai hal ini, umat Kristen menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis (Yahya as) adalah “Sang Nabi Elia” yang pernah dinubuatkan oleh Maleakhi.

Namun, di sinilah letak kerancuan konteks nubuat yang dimak­sudkan, mengingat Injil Yohanes mencatat sebuah dialog yang terjadi antara Yohanes Pembaptis dengan para Imam Yahudi dan pemuka suku Lewi. Di kala itu, Yohanes Pembaptis telah diminta untuk bersaksi mengenai siapakah dirinya yang sebenarnya dan mengapa dia memberitakan Sang Mesiah dan menyatakan bahwa Kerajaan Surga telah dekat?

Memang benar, dalam khutbah-khutbahnya di padang berbukit belantara Yudea, Yohanes selalu mengajak bangsa Israel untuk bertaubat dan mengatakan bahwa waktu datangnya Kerajaan Surga telah dekat. Di tepi sungai Yordan, dia membaptis para pengikutnya dengan air sebagai tanda pensucian rohaniah dan lahiriah mereka. Dia juga mengajak bangsa Israel untuk mengingat kembali nubuat-nubuat para nabi suci Israel mengenai Sang Mesiah dan meme­rintahkan mereka untuk merendahkan diri di hadapan Sang Tuan pada saat kedatangannya. Pada salah satu ungkapannya yang indah dalam Injil Lukas, Yohanes Pembaptis mengingatkan bangsa Israel akan kemuliaan dan keagungan sosok Sang Mesiah dan ajaran yang akan dibawanya dengan mengatakan:

Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih ber­kuasa daripadaku akan datang dan membuka tali kasutnya pun aku tidak layak.

Ia akan membaptis kamu dengan roh kudus dan dengan api.
Alat penampi sudah ditangannya untuk membersihkan tempat pengirikannya dan untuk mengumpulkan gandumnya ke dalam lumbungnya, tetapi debu jerami itu akan dibakarnya dalam api yang tidak terpadamkan. (Lukas 3: 16-17)


Akibat pelbagai pemberitaan yang telah disampaikan oleh Yohanes ini, para imam Yahudi dan petinggi Lewi mempertanyakan siapakah jatidiri Yohanes Pembaptis itu sebenarnya. Dialog persaksian Yohanes mengenai dirinya diriwayatkan sebagai berikut:

Dan inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan dia: “siapakah engkau?”

Ia mengaku dan tidak berdusta, katanya: “Aku bukan Mesiah”

Lalu mereka bertanya kepadanya: “kalau begitu, siapakah engkau? Elia?” Dan ia menjawab: “bukan!”
“Engkaukah nabi yang akan datang?” Dan ia menjawab: “bukan!” (Yohanes 1: 19-21)

Kemudian mereka kembali bertanya:
Mereka bertanya kepadanya, katanya: “Mengapakah engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” (Yohanes 1: 25)

Dengan jawaban yang sangat jelas Yohanes menjawab:
Jawabnya: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (Yohanes 1: 23)


Jawaban Yohanes Pembaptis yang singkat ini ternyata telah dipahami dengan baik oleh para penanya. Yohanes menjelaskan bahwa dia bukanlah obyek nubuat atau salah seorang dari yang mereka tanyakan, tetapi dia sama seperti Yesaya as, yaitu pembawa kabar mengenai figur-figur mesianistik tersebut.

Yesaya as adalah salah seorang nabi Tuhan kepada bangsa Israel yang muncul di Kerajaan Yudea setelah perpecahan terjadi. Dia bernubuat dan menghadapi para pengingkar ajaran Tuhan. Yesaya as terkenal dengan nubuat-nubuatnya yang mengagumkan.

Pesan Yesaya as dan juga Yohanes as kepada bangsa Israel adalah sama, yaitu: “Luruskanlah jalan Tuhan!”. Pesan ini bukan berarti bangsa Israel diharuskan untuk membangun sebuah jalan dan meluruskan permukaannya, tapi merupakan pesan moral dan memi­liki efek serta implikasi yang amat mendalam bagi kehidupan spiritual dan intelektual bangsa Israel. Melalui dialog yang terjadi antara Yohanes Pembaptis dan para imam Yahudi, petinggi Lewi dan peng­anut mazhab Pharisi itu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting berikut.

Pertama, pernyataan-pernyataan dari Yohanes sendiri jelas membantah klaim umat Kristen yang menyebut Yohanes Pembaptis sebagai figur mesianistik pertama atau “Sang Nabi Elia” yang dijanjikan, karena Yohanes sendiri telah menafikankannya.

Kedua, kepercayaan umat Yahudi yang mengatakan bahwa mereka hanya menanti dua figur mesianistik ternyata tidak sepenuhnya benar, karena bangsa Israel sesungguhnya menantikan tiga figur mesianistik dan bukan dua! Figur-figur itu adalah “Sang Nabi Elia”, “Sang Mesiah” dan “Nabi itu”. Menurut pengakuan Yohanes, dia sama sekali tidak termasuk dalam ketiga figur tersebut.

Ketiga, sungguh amat disayangkan bahwa umat Kristen sekarang tidak memelihara dialog Yohanes dalam bahasa aslinya; yaitu Bahasa Aramaik, karena paling tidak kita sudah tidak bisa lagi memahami kata-kata Aramaik apa yang terungkap dalam dialog tersebut. Menurut Bibel versi AV strong, kata “nabi” yang diucapkan oleh para penanya kepada Yohanes dalam teks Yunani adalah prophetes. Secara etimologis, kata ini merujuk kepada nabiy’ dalam dialek Ibrani. Padanan contohnya adalah pernyataan yang pernah diucapkan Musa as ketika dia menjanjikan Sang Mesiah kepada bangsa Israel dalam Kitab Ulangan:

Seorang nabi (nabiy’) akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan 18: 18)

Berkaitan dengan hal ini, perlu dibuat sebuah pemahaman ringkas bahwa ketika para imam Yahudi dan petinggi Lewi bertanya kepada Yohanes berkenaan dengan jatidirinya, sudah pasti pertanyaan itu terkait dengan kedatangan beberapa orang nabi (pembawa kabar). Namun, yang menjadi pertanyaan disini adalah: apakah ketiga figur mesianistik yang dijanjikan itu adalah nabi secara keseluruhannya?
Kitab Maleakhi menjanjikan bahwa figur mesianistik pertama yang akan datang adalah “Nabi Elia”: “Sesungguhnya Aku akan mengutus Nabi Elia”.[8] Maksudnya, figur pertama yang dijanjikan kepada bangsa Israel adalah seorang nabi. Para imam Yahudi dan petinggi Lewi yang bertanya kepada Yohanes jelas mengetahui maksud dari pertanyaan mereka sendiri. Selain sebagai nabi, “Sang Elia” yang dijanjikan juga adalah seorang utusan Tuhan, karena ayat di atas jelas menyebutkan bahwa Tuhan akan “mengutusnya” sebagai “Nabi Elia”.

Adapun mengenai figur mesianistik kedua atau Sang Mesiah, maka para imam Yahudi dan petinggi suku Lewi yang mengajukan pertanyaan itu kepada Yohanes, juga sudah pasti mengetahui bahwa Sang Mesiah adalah seorang nabi Tuhan, karena dia adalah Tuan, Sultan dan Pangeran bagi semua utusan Tuhan. Banyak nubuat yang memastikan hal ini. Salah satu contohnya adalah nubuat dalam Kitab Ulangan yang telah kami sebutkan di atas.

Namun, selain Sang Mesiah akan datang sebagai nabi dan utusan Tuhan, dijelaskan juga bahwa Sang Mesiah adalah Imam Tertinggi sege­nap makhluk Tuhan. Maksudnya, Sang Mesiah akan memangku tiga jabatan langit sekaligus, yaitu: nabi, utusan (rasul) dan imam. Di bawah ini adalah ayat-ayat al-Kitab yang mengkonfirmasikan hal tersebut.

Pertama, ayat yang menjelaskan mengenai kenabian Sang Mesiah:
Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan 18:18)[9]

Kedua, ayat yang menjelaskan bahwa Sang Mesiah adalah seorang utusan atau rasul Tuhan:
Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuan [ADON] yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! Utusan10 [MAL’AK] Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman TUHAN semesta alam. (Maleakhi 3: 1)

Bagian ayat pertama yang menyatakan “Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku!”, menun­jukkan atas kedatangan “Sang Nabi Elia” yang akan menjadi figur mesianistik pertama bangsa Israel. Sedangkan bagian yang menya­takan tentang kedatangan “Sang Adon” ke Rumah Tuhan secara mendadak menunjukkan kunjungannya ke Yerusalem pada saat Sang Mesiah menjalankan misinya yang suci. Adapun mengenai bagian akhir ayat yang mengatakan “Utusan Perjanjian yang kamu kehen­daki itu”, menunjukkan bahwa selain sebagai seorang nabi, Sang Mesiah juga merupakan seorang utusan Tuhan.

Ketiga, jabatan ketiga Sang Mesiah adalah sebagai Imam Tuhan. Jabatan ini disebutkan dalam Kitab Mazmur berikut ini:

TUHAN telah bersumpah, dan Ia tidak akan menyesal: “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya, menurut Melki­sedek.” (Mazmur 110: 4)

Kata imam pada ayat di atas berbeda dengan istilah nabiy’ (nabi) atau mal’ak (utusan) seperti yang pernah disebutkan ayat-ayat sebe­lumnya. Dalam teks Ibraninya, kata yang dipergunakan adalah kohen yang berasal dari kata kahan yang artinya adalah chief ruler (pang­lima tertinggi), leader (imam), prince (pangeran) atau officer (pe­mangku).

Menurut al-Kitab, jabatan ini merupakan jabatan tertinggi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia pilihan-Nya. Dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa Tuhan telah menganugerahkan jabatan ini kepada Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, Nabi Ishak as, Nabi Yusuf as, Nabi Harun as dan keturunan mereka. Bahkan, dalam al-Kitab, institusi kekohenan menjadi ajaran puncak dan inti dari konsep kepemimpinan Ilahiah.

Melalui pemahaman ini, dapat dipastikan bahwa para imam Yahudi dan petinggi suku Lewi yang menanyakan perihal identitas Yohanes Pembabtis sebenarnya telah mengetahui setiap pertanyaan yang mereka ajukan, karena pada hakikatnya mereka hanya mau mengetahui tentang apakah Yohanes termasuk salah satu dari tiga figur mesianistik yang dijanjikan tersebut.

Berkaitan dengan hal ini, pertanyaan para imam Yahudi dan petinggi suku Lewi yang ketiga, yaitu: “Engkaukah nabi yang akan datang itu?” menjadi tidak relevan dengan seluruh permasalahan yang ada. Maksudnya, kata nabi untuk merujuk kepada figur mesianistik ketiga menjadi sesuatu yang ganjil, jika tidak ingin disebut sebagai mustahil! Ayat dalam Kitab Maleakhi secara jelas menyebutkan bahwa “Sang Nabi Elia” yang akan datang sebelum kemunculan Sang Mesiah adalah seorang nabi. Sedangkan nubuat-nubuat mengenai Sang Mesiah sendiri juga sudah jelas bahwa Sang Mesiah akan menjadi seorang nabiy’ (nabi), mal’ak (utusan) dan kohen (imam).

Kecuali telah terjadi kesalahan penulisan ataupun periwayatan dari penulis Injil Yohanes, maka tidak ada alasan bagi para imam Yahudi dan petinggi Lewi untuk seakan-akan mengulang kembali pertanyaan itu kepada Yohanes Pembabtis untuk merujuk kepada figur-figur yang mereka telah tanyakan sebelumnya. Alasannya, dua figur mesianistik ini telah ditanyakan sebelumnya dan Yohanes sendiri telah menegaskan bahwa dia bukan Elia maupun Mesiah. Lalu, siapakah figur mesianistik ketiga yang mereka tanyakan itu?

Satu-satunya jalan untuk menjembatani kerancuan ini adalah asumsi bahwa Yohanes—atau siapa pun—yang pernah menyalin Injil Kanon keempat ini dari bentuk aslinya telah salah menuliskan kata yang sebenarnya. Perlu diketahui, selain kata kohen dapat berarti imam seperti yang diadopsi oleh para penerjemah al-Kitab dalam bahasa Indonesia, namun al-Kitab sendiri sebenarnya memiliki padanan kata lain untuk menunjukkan kepada makna yang serupa. Contohnya pada kisah Nabi Musa as dan Harun as dalam Kitab Bilangan diceritakan bahwa Tuhan telah memilih duabelas orang pemimpin bangsa Israel dan memerintahkan Musa as untuk meng­angkat mereka:

Setelah Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pemimpin mereka memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut suku-suku mereka, dua belas tong­kat, dan tongkat Harun ada di antara tongkat-tongkat itu. (Bilangan 17: 6)

Kata “pemimpin” pada ayat di atas tidak menggunakan kata kohen untuk memberikan semacam atribut kepemimpinan terhadap kedua belas orang yang terpilih itu, tapi al-Kitab menggunakan kata nasiy’ yang cakupan artinya jauh lebih luas dari makna kohen. Arti kata nasiy’ adalah ketua (chief), kapten (captain), imam (leader), gubernur (governor), pangeran (prince) dan penguasa (ruler).
Kesimpulannya, sangat mungkin bahwa pertanyaan yang diajukan oleh para imam Yahudi dan petinggi Lewi mengenai figur mesianistik yang ketiga sebenarnya adalah nasiy’ (imam) dan bukan nabiy’ (nabi) sebagaimana yang dicatat oleh penulis Injil Yohanes. Salah satu alasannya adalah ketika mereka bertanya, mereka sesungguhnya tidak meragukan figur-figur mesianistik tersebut. Mereka hanya ber­tanya apakah Yohanes termasuk salah satu dari ketiga figur yang mereka tanyakan. Maksudnya, pertanyaan mereka bersifat personal dan tidak substansial. Kalimat “Elia” dan “Mesiah” yang telah mereka ucapkan membuktikan dan menguatkan argumen ini.

Pada kasus yang berbeda dalam konteks yang sama, Injil Yohanes sendiri memang mendapat kritik tajam dari para Kristolog Muslim karena dianggap telah menggunakan kata-kata Yunani yang menyim­pang dari teks-teks aslinya. Kasus penulisan parakletos (artinya: penghibur) dari kata yang seharusnya adalah periclytos (artinya: terpuji; Arab: AHMAD) merupakan salah satu contoh penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, tentu saja kita yakin seratus persen bahwa kata yang pernah diucapkan oleh Yesus tentu saja bukan paracletos maupun periclytos karena dua kalimat ini adalah bahasa Yunani, sedangkan Yesus sendiri berbicara dengan bahasa Aramaik. Julukan yang diberikan oleh Yesus kepada salah seorang Hawariy-nya yang bernama Simon bar Yonas as dengan Keffas menunjukkan bahwa Yesus—seumur hidupnya—tidak pernah memanggil Simon as dengan sebutan Petros dalam logat Yunani-nya.

Dengan paparan ini, terbuka kemungkinan bahwa kata yang diucapkan oleh para imam Yahudi dan petinggi Lewi yang seben­arnya adalah nasiy’ (imam) bukan nabiy’ (nabi, pembawa kabar). Hanya saja -baik disengaja maupun tidak- kata ini diasumsikan oleh penerjemahnya sebagai nabiy’ sehingga mereka menerjemahkannya menjadi prophetes dalam bahasa Yunaninya. Selain itu, nubuat-nubuat lain dalam sebagian al-Kitab yang akan diuraikan setelah ini memang menguatkan pandangan bahwa figur mesianistik ketiga yang dijanjikan al-Kitab dan yang pernah ditanyakan oleh para imam Yahudi dan para petinggi Lewi kepada Yohanes Pembaptis adalah (nasiy’) atau Imam al-Mahdi yang juga dijanjikan oleh Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw.

Selain apa yang telah diuraikan tentang beberapa aspek Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyangkut kedatangan “Sang Nabi Elia” dan “Sang Mesiah”, kini tiba gilirannya untuk mengetahui apakah al-Kitab sendiri memang pernah menjanjikan kedatangan seorang nasiy’ yang diurapi Tuhan tersebut?

***
Ada sebuah kitab dalam al-Kitab Perjanjian Baru yang penuh dengan wacana-wacana profetis dan figur-figur mesianistik. Tidak mengherankan apabila penafsiran kitab ini oleh umat Yahudi dan Kristen sangat tidak relevan, tidak kontekstual dan tidak obyektif. Kitab yang dimaksudkan adalah Kitab Wahyu atau Apocalypse. Kata apocalyse berasal dari bahasa Yunani, yaitu apokalupsis atau apokaluptô yang secara harfiah berarti wahyu (revelation), tindakan mengungkap (uncover) atau tindakan menyingkap (reveal). Concise Oxford Dictionary menjelaskan arti apocalypse sebagai berikut:

1. Revelation, the last book of the New Testament, recounting a divine revelation to St. John, 2. A revelation, esp. of the end of the world. 3. a grand or violent event resembling those described in the Apocalypse. [11]

Di bawah ini adalah beberapa informasi dan sikap yang harus diambil terhadap isi dan kandungan Kitab Wahyu:

Pertama, Kitab Wahyu berbicara mengenai peristiwa-peristiwa yang terkait dengan akhir zaman atau Hari Kiamat.

Kedua, isi nubuat-nubuat dalam Kitab Wahyu sebenarnya memang tidak terkait dengan dua figur mesianistik yang pernah disebutkan sebagai “Sang Nabi Elia” dan “Sang Mesiah”, karena secara kese­luruhan Kitab Wahyu membicarakan mengenai hal-hal sesudah keda­tangan mereka dan bukan sebelum atau pada saat mereka muncul. Lebih jelasnya, topik yang berkenaan dengan figur manusia yang diurapi Tuhan memang ada dan dijelaskan, bahkan dalam beberapa tempat, namun semua nubuat tersebut tidak lagi terkait dengan “Sang Nabi Elia” dan “Sang Mesiah” seperti yang diuraikan dalam Perjanjian Lama dan sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh Yesus mengenai paracletos (atau periclytos) setelah dirinya.

Ketiga, isi Kitab Wahyu tidak tersusun secara kronologis tetapi secara tematis.

Keempat, sekalipun Kitab Wahyu mengandung beberapa pem­beri­taan yang relevan dengan pemberitaan Hari Kebangkitan yang pernah disampaikan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw dan para imam suci Ahlulbait, namun sebagai seorang Muslim kita tidak mempercayai adanya kitab Tuhan yang sepenuhnya utuh seperti pada saat diwahyukan Allah kecuali Al-Qur’an. Kita yakin seratus persen bahwa hanya Al-Qur’an satu-satunya kitab Tuhan yang masih murni dan tidak terdistorsi, sedangkan al-Kitab Yahudi dan Kristen telah bercampur dengan berita-berita palsu dan bohong. Tetapi, terkait dengan hal itu, kita juga mempercayai bahwa salah satu fungsi Al-Qur’an yang tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi lainnya adalah “membenarkan” atau meluruskan segala macam bentuk informasi yang telah menyimpang atau senganja disimpangkan dalam al-Kitab Yahudi dan Kristen.

Kelima, penjelasan dan nubuat Kitab Wahyu secara umum ber­sifat metaforis, alegoris dan mistis.

Dari kelima kesimpulan di atas, kesimpulan terakhir perlu diperjelas: sekalipun isi dan kandungan Kitab Wahyu sarat dengan wacana profetis yang terkemas dalam bentuk kiasan dan ungkapan metaforis, tetapi bukan berarti hal itu mustahil untuk diuraikan makna-maknanya secara benar. Terselimutinya penafsiran Kitab Wahyu dalam kabut misteri yang tak terpecahkan oleh umat Yahudi dan Kristen bahkan para Kristolog Muslim sebenarnya disebabkan oleh belum adanya “sandaran atau pijakan” untuk menafsirkan seluruh nubuat yang dimaksud agar bisa dijustifikasikan secara rasional dan kontekstual.
Faktor lainnya, para penafsir tidak jeli menangkap fakta bahwa isi dan kandungan Kitab Wahyu sebenarnya memang tidak bernubuat tentang kenabian tapi bernubuat tentang para imam setelah periode Mesiah Tuhan (baca: Nabi Muhammad saw).

Oleh sebab itu, sebelum bisa mengurai makna nubuat-nubuat dalam Kitab Wahyu, faktor pertama yang mesti kita pahami adalah imamah paska wafatnya Rasulullah saw. Faktor kedua adalah aspek-aspek historis berkenaan dengan riwayat hidup para imam suci Ahlulbait Nabi as. Faktor terakhir adalah hadis-hadis kedatangan Imam Mahdi as.

Berkaitan dengan sejarah Imam Mahdi as disebutkan bahwa menurut hadis-hadis Rasulullah saw dan para imam suci Ahlulbait as serta beberapa penulis sejarah Islam Ahlusunah maupun Syiah meriwayatkan bahwa Imam Mahdi as berasal dari keturunan kesem­bilan Imam Husein bin Ali as atau Imam Keduabelas dari keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as. Namanya akan sama dengan nama Rasulullah saw dan nama ayah beliau sama dengan nama putra pertama Imam Ali as. Pada bab pertama buku Al-Mahdi al-Mau’ûd al-Muntazhar karya Syaikh Najmuddin al-Askari disebutkan 26 riwayat dari jalur Ahlusunah yang menyebutkan bahwa Imam Mahdi as telah dilahirkan di kota Samarra‘ yang kini menjalani kegaiban hingga saat kemunculannya nanti.[12]

Menurut sejarawan Syiah, kelahiran Imam Mahdi as terjadi pada tanggal 15 Syakban 255 H di kota Samarra‘. Dijelaskan bahwa kondisi menjelang kelahirannya hampir sama dengan yang terjadi pada saat kelahiran Musa as. Menjelang Musa as dilahirkan, beberapa cenayang bangsa Mesir meramalkan kelahiran seorang bayi lelaki dari bangsa Israel yang kelak mampu meruntuhkan Impirium Pharaoh. Kabar itu telah memunculkan kekhawatiran penguasa Mesir, sehingga menyulut pembantaian terhadap bayi-bayi lelaki berkebang­saan Israel. Menjelang Imam Mahdi as dilahirkan, penguasa Dinasti Abbasiyyah, al-Mu’tamid juga sempat mengalami kehawatiran yang sama. Al-Mu’tamid memerintahkan aparatnya untuk melacak dan mengawasi setiap kelahiran yang terjadi. Ibunda Imam Mahdi as, Sayidah Janab Narjis Khatun as, sempat mendapat pengawasan ketat dari Qadhi Abu Surab yang mendapat perintah langsung dari al-Mu’tamid untuk mengawasi keluarga Imam Hasan al-Askari as. Akan tetapi, melalui Pemeliharaan Langit (Divine Protection) dan beberapa fenomena supranatural yang mengiringi kelahiran beliau; sama seperti yang pernah dialami Musa as dan ibunya, maka sang ibu dan Imam Mahdi as yang baru dilahirkan akhirnya terlindungi dari para penguasa yang hendak mencelakakan mereka. Semenjak kelahiran­nya hingga balita, pemeliharaan Imam Mahdi as tetap dira­hasiakan dan hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan untuk bertemu dengannya. Beliau mengalami dua kali kegaiban. Pertama terjadi pada 260 H, sedangkan kegaiban kedua dan disebut sebagai kegaiban akbar (al-ghaybah al-kubrâ) terjadi pada tahun 328 H sampai sekarang.

Mengetahui berita wafatnya Imam Hasan al-Askari as (ayah Imam Mahdi as) pada 8 Rabiulawal 260 H dan mendengar bahwa upacara penguburannya dipimpin oleh seorang bocah berusia 4 tahun, al-Mu’tamid menyadari bahwa sang bocah adalah Imam Mahdi as. Untuk mengkonfirmasikan hal tersebut, dia memerintahkan para pengawal untuk menangkap ibunda Imam Mahdi as dan mengintero­gerasinya. Tetapi, setelah memenjarakan ibunda Imam Mahdi as selama enam bulan tanpa memperoleh hasil, akhirnya al-Mu’tamid melepaskannya.

Selain kisah kelahirannya, Sayidah Narjis Khatun as atau ibunda Imam Mahdi as juga disebutkan memiliki silsilah keturunan hingga datuknya yang bernama Simon Keffas atau Santo Petrus. Simon anak Yohanes merupakan pemimpin Hawariy dari Isa as.[13] Setelah ber­akhirnya misi kenabian Isa as, dia mengembalikan posisi kepemim­pinan bangsa Israel kepada suku Yusuf.[14] Menurut kitab-kitab Injil Kanonik, Simon berasal dari Betsaida, sebuah kota di tepi danau Tiberias, daerah Provinsi Galilea di wilayah suku Menasye.

Menurut Kitab Kejadian, setelah Nabi Yakub as wafat, putra Yusuf yang bernama Manasye, diangkat untuk menjadi pemimpin bangsa Israel dan hal ini terus berlangsung hingga kedatangan Musa as dan Harun as dari suku Lewi. Kisah yang disebutkan al-Kitab dan juga Al-Qur’an mengenai mimpi Nabi Yusuf as tentang sujudnya sebelas bintang, matahari dan bulan kepadanya[15] jelas mengukuhkan argumen ini. Bahkan, di kemudian hari, pecahnya Kerajaan Israel paska Nabi Sulaiman as terjadi akibat perebutan kekuasaan antara suku Yehuda dan suku Yusuf. Hanya saja, yang terlibat konflik dengan suku Yehuda adalah suku Efraim putra kedua Yusuf as yang merupakan saudara Manasye.

Berkaitan dengan sejarah peristiwa kelahiran Imam Mahdi as dan perjuangan sang Ibu untuk melindungi putranya dari upaya pem­bunuhan penguasa Dinasti Abbasiyyah serta asal-usul Sayidah Narjis Khatun as yang sampai kepada Santo Petrus jelas sangat unik dan luar biasa! Belum pernah ada kisah-kisah seperti ini dalam ajaran, tradisi maupun sejarah umat Yahudi atau Nasrani. Ajaran Yahudi bahkan tidak peduli dengan Simon Petrus as karena dianggap sebagai figur ajaran Kristen. Selain Simon Petrus, Nabi Yahya as dan Isa as tidak pernah masuk daftar jajaran nabi bangsa Israel. Umat Yahudi meyakini bahwa Sang Mesiah konon akan berasal dari suku Yehuda dan tidak akan pernah sudi untuk memberikan porsi keuta­maan itu kepada suku Yusuf!

Dalam ajaran Kristen juga tidak pernah ada perhatian khusus kepada Simon Petrus as setelah kewafatannya, kecuali mengabadi­kan nama beliau untuk bangunan-bangunan gereja di berbagai tempat di dunia termasuk gedung Keuskupan yang megah di Vatikan yaitu, St. Peter’s Cathedral atau Katedral Santo Petrus, dan itu pun baru terjadi pada awal abad kelima belas Masehi. Peletakan batu pertama untuk membangun Katedral ini dilakukan oleh Paus Julius dan dibangun selama 120 tahun dari tahun 1506 M hingga 1626 M.

Alhasil, ajaran Kristen tidak pernah menantikan seorang juru selamat yang ibunya akan berasal dari keturunan Simon Petrus as, karena dalam Kristen, suku Yehuda lebih utama daripada suku Yusuf. Selain itu, yang akan datang menjelang akhir zaman nanti dalam kepercayaan umat Kristen adalah Yesus Kristus tanpa kehadiran seorang Imam (Paus atau Uskup) atau lainnya sebagai pendamping Yesus. Dan tidak pernah ada juga riwayat yang menyatakan bahwa pemimpin mereka akan lahir dari seorang ibu yang memiliki silsilah sampai kepada Simon Petrus as.

Sehubungan dengan seluruh uraian mengenai sejarah Imam mahdi as di atas dan hal-hal yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tersebut seperti kelahirannya, ibunya dan kegaibannya, sebenarnya ada sebuah nubuat yang perlu dicermati pada pasal 12 dalam Kitab Wahyu. Nubuat itu adalah sebagai berikut:

Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perem­puan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.
Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaan­nya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan.

Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota.
Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk mene­lan Anaknya, segera sesudah perempuan itu melahi­rkan-Nya.

Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan meng­gembalakan semua bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anak­nya itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya.
Perempuan itu lari ke padang gurun, di mana telah disediakan suatu tempat baginya oleh Allah, supaya ia dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh hari lamanya. (Wahyu 12:1-5)


Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa nubuat adalah wacana profetis. Ia merupakan pemberitahuan tentang kejadian-kejadian tertentu setelah periode penerimaan nubuat. Pesan atau substansi nubuat itu sendiri bersifat abstrak dalam bentuk gambaran simbolis dan metaforis. Ditinjau dari sudut pandang awam, kebanyakan manusia baru menyadari bahwa suatu nubuat itu telah tergenapi atau terjadi setelah berlalunya peristiwa yang dinubuatkan. Berkaitan dengan wacana pernubuatan, Al-Qur’an sendiri memiliki banyak contoh nubuat seperti nubuat Yusuf as mengenai bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya, mimpi Raja Mesir di zaman Yusuf as yang melihat tujuh biji gandum dan tujuh ekor sapi kurus dan gemuk serta mimpi dua orang teman penjara Yusuf as dan masih banyak lagi. Ada juga nubuat Al-Qur’an yang masih belum terpenuhi atau tergenapi seperti runtuhnya tembok pembatas dari besi yang dibuat oleh Zulkarnain serta kemunculan Ya’juj dan Ma’juj yang terkait dengan kemunculan Imam Mahdi as.

Apa pun gambaran atau bentuk suatu nubuat pada intinya memang dari seorang nabi yang bisa dipahami dan bukan sekedar khayalan. Figur-figur abstrak dalam suatu nubuat dapat diinterpretasikan. Hanya saja, dibutuhkan pemahaman yang cukup mendalam terhadap nubuat itu sendiri dan apa-apa yang dinubuatkan. Sehubungan dengan nubuat Kitab Wahyu di atas, ada hal unik yang tergambarkan, yakni figur seorang ibu yang mengandung dan tengah menanti kelahiran bayinya serta ancaman dari seekor naga merah padam yang buas yang hendak memangsa sang bayi, jelas memiliki pesan profetik yang amat dalam.

Dalam al-Kitab, sering kali nubuat para nabi perihal penguasa yang membenci ajaran Tuhan atau dinasti atau kerajaan yang menen­tang ajaran Tuhan dengan gambaran-gambaran yang menakutkan. Wacana profetik seperti gambaran binatang yang menakutkan sesung­guhnya merepresentasikan kerajaan yang besar dengan kekuatan dahsyat dan mengerikan. Kekuatan mereka seakan-akan mewakili demonic creatures, terror, diabolic powers, satanic, devilish atau the evil itself. Seluruh kiasan itu mewakili kekuatan bala tentara iblis dan setan sehingga digambarkan dalam bentuk metaforis atau simbolis berupa binatang-binatang monster yang mengerikan. Tanduk biasanya identik dengan raja atau penguasa di imperium kegelapan (empire of darkness), sedangkan mahkota merupakan simbol ajaran, kekuasaan atau majesty.

Oleh sebab itu, gambaran seekor naga merah yang disebutkan Kitab Wahyu jelas bukan naga sungguhan, karena ungkapan itu adalah metafora untuk mewakili simbol kekuasaan atau kerajaan bejat tertentu. Sebagai perbandingan dan untuk memperkaya pen­jelasan tentang makna nubuat Kitab Wahyu di atas, kita patut meneliti Kitab Nabi Daniel as yang sarat dengan wacana-wacana profetis.[16]

***

Dalam visinya mengenai figur Sang Mesiah di pasal tujuh dan delapan, Daniel as menyaksikan kemunculan empat ekor binatang monster yang menyeramkan dari dasar laut berikut segala elemen kekuatan yang termanifestasikan dalam figur monsteristik tersebut. Namun, malaikat yang menunjukkan visi itu mengatakan bahwa empat ekor binatang buas yang disaksikan Daniel as itu sesung­guhnya adalah empat kerajaan besar yang mewakili kekuatan kege­lapan atau kaum pagan. Mereka akan berkuasa di bumi secara silih berganti dan yang terakhir akan muncul sebelum periode kedatangan Sang Mesiah.

Berkaitan dengan nubuat Kitab Daniel as dan Kitab Wahyu tersebut, umat Yahudi mengatakan bahwa kedua nubuat itu men­jelaskan tentang kedatangan Sang Mesiah di akhir zaman. Jadi, nubuat Daniel as dan Kitab Wahyu sama-sama belum terpenuhi (terjadi) sampai sekarang. Akan tetapi, apabila dicermati, nubuat yang disampaikan dalam Kitab Wahyu pasal 12 sebenarnya tidak pernah menceritakan tentang kedatangan figur mesianistik pertama maupun kedua, karena ketika Daniel as bernubuat mengenai Sang Mesiah dan penyaksiannya mengenai empat monster itu, Daniel as tidak pernah menceritakan tentang kemunculan sebuah kerajaan yang digambarkan dengan sosok naga merah.

Dengan demikian, selain masih banyak kesalahpahaman di dalam ajaran Yahudi mengenai Sang Mesiah, interpretasi Yahudi yang mengatakan bahwa nubuat Daniel as dan Kitab Wahyu belum terpenuhi sebenarnya sangat tidak tepat, karena keduanya memang tidak saling berhubungan. Maksudnya, nubuat Daniel as berbicara mengenai satu masalah dan Kitab Wahyu bernubuat tentang masalah yang lain. Memang benar bahwa nubuat Daniel as dan Kitab Wahyu sama-sama berbicara mengenai Sang Mesiah, hanya saja mereka bukan satu figur yang sama.

Dari sisi penafsiran yang berbeda, nubuat Kitab Wahyu juga mustahil merepresentasikan Yesus Kristus-nya umat Kristen, karena nubuat ini muncul setelah Yesus dan bukan sebelumnya.[17] Nubuat ini juga mustahil berbicara mengenai kedatangan Yesus yang kedua karena Yesus telah diangkat ke langit, sedangkan kedatangannya akan turun dari langit dan bukan melalui proses kelahiran sebagai­mana dinubuatkan dalam Kitab Wahyu.

Para Kristolog Muslim Suni juga tidak pernah menganggap nubuat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Sungguh tidak mengherankan apabila pembahasan mengenai nubuat ini sering ter­lewatkan oleh para Kristolog Muslim dan dianggap kurang menarik atau bahkan terlalu misterius.

Melalui penjelasan ini, dapat dipahami mengapa riwayat-riwayat seputar kisah kelahiran Imam Mahdi as dan perjuangan ibunya yang dicatat oleh kalangan sejarawan Syiah menjadi data yang menggem­par­kan! Nubuat Kitab Wahyu yang menceritakan tentang “seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” memiliki penafsiran yang sangat dalam. Singkatnya, gambaran nubuat mengenai “sang perempuan” jelas sekali merujuk kepada figur ibu Imam Mahdi as yang disebut bahwa ia akan berasal dari keturunan Simon Petrus as dari suku Yusuf. Sedangkan pernyataan yang mengatakan “berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepala­nya”, tidak hanya mengingatkan kita akan mimpi Yusuf as, bahkan hal ini mempunyai pengertian yang lebih kaya daripada itu! Surah Yusuf yang berada pada urutan kedua belas dalam susunan Al-Qur’an bercerita tentang mimpi Nabi Yusuf as sebagai berikut:

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS. Yusuf: 4)
Ayat di atas merupakan penjelasan ulang dari Al-Qur’an tentang sejarah bermulanya kepemimpinan Yusuf dan keturunannya atas bangsa Israel. Al-Qur’an hanya menyebut sebelas bintang karena Yusuf as dan keturunannya masih menjadi bintang terbesarnya. Maksudnya, Yusuf as dan keturunannya masih merupakan imam atau pemimpin untuk kesebelas bintang lainnya.

Uniknya, dalam nubuat Kitab Wahyu, angka itu sudah tidak lagi menyebut sebelas bintang tapi duabelas. Ungkapan ini sesungguhnya mewakili beberapa arti penting: pertama, pesan nubuat dalam Kitab Wahyu adalah untuk bangsa Israel dan bukan untuk umat Islam. Nubuat Kitab Wahyu menjelaskan mengenai asal-usul sang perem­puan dari bangsa Israel. Nubuat ini juga mengkonfirmasikan bahwa ketika sang perempuan itu mengandung anaknya, imamah bangsa Israel sudah tidak lagi berfungsi. Angka duabelas sangat jelas mem­berikan arti bahwa sang perempuan akan hidup bukan pada saat imamah bangsa Israel masih berjalan, tapi setelah imamah Israel sudah tidak lagi berfungsi. Ketika imamah bangsa Israel sudah tidak lagi berfungsi, maka fakta itu hanya mungkin menandakan kepada satu hal bahwa sang perempuan hidup setelah periode Sang Mesiah, karena sesuai nubuat al-Kitab sendiri, Sang Mesiah bukan keturunan Bani Israel tapi keturunan Bani Ismail.

Maksudnya seperti ini, Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab Perjanjian Baru umat Kristen. Dan menurut ajaran Kristen, Yesus adalah Sang Mesiah. Tetapi, penelitian kalangan Kristolog Muslim membuktikan bahwa Yesus bukanlah Sang Mesiah yang dimaksud dalam al-Kitab, karena semua fakta menunjukkan bahwa Sang Mesiah tersebut adalah Nabi Muhammad saw.

Nubuat-nubuat dalam Kitab Wahyu merupakan nubuat-nubuat yang diasumsikan oleh kalangan Kristen sendiri terjadi setelah Yesus dan berdekatan dengan akhir zaman. Oleh sebab itu, nubuat-nubuat kitab Wahyu tersebut hanya mungkin terjadi setelah periode Nabi Muhammad saw dan bukan sebelumnya.
Kedua, Yusuf as dan keturunannya merupakan kelompok putra-putra Nabi Ya’kub as yang mengawali imamah bangsa Israel sampai dengan periode Nabi Musa as dan Harun as. Setelah itu imamah bangsa Israel dipegang oleh suku Lewi melalui keturunan Imam Harun as sampai periode Yesus. Lalu, dengan berakhirnya kenabian bangsa Israel, maka hal itu juga menandakan berakhirnya imamah suku Lewi. Oleh sebab itu, Yesus mengembalikan posisi imamah suku Yusuf atas bangsa Israel melalui Simon Petrus dan keturunan­nya sebagai tanda kepada bangsa Israel untuk menantikan keda­tangan “seorang nabi sama seperti aku (Musa)”,[18] yaitu Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, imamah dipegang oleh dua­belas orang yang berasal dari Ahlulbait Nabi saw.

Dengan mencermati keterengan-keterangan poin pertama dan kedua, dapat kita ambil konklusi sebagai berikut:

Sang perempuan pasti berasal dari keturunan suku Yusuf karena simbol-simbol yang disebutkan Kitab Wahyu dan dapat dipastikan juga bahwa dia akan hidup setelah periode Nabi Muhammad saw, karena Nabi Muhammad saw adalah Mesiah yang sesungguhnya.

Pada perode Nabi Muhammad saw (dan setelahnya), imamah dideklarasikan berjumlah duabelas orang dari Ahlulbait Nabi saw.

Sang Mesiah adalah figur unversal dan dia membawa ajaran untuk semua bangsa tanpa terkecuali. Dengan demikian, imamah Ahlulbait as setelah periode Nabi Muhammad saw adalah para imam yang mewakili otoritas universal. Mereka (para imam Ahlulbait as) memimpin dan mengeksekusi ajaran Islam kepada semua bangsa tanpa pengecualian.

Mengingat jumlah para imam adalah duabelas orang dan nubuat Kitab Wahyu terkait dengan kelahiran salah seorang figur imam universal setelah Sang Mesiah (baca: Nabi Muhammad saw), maka sang perempuan itu juga dapat dipastikan merupakan ibu dan istri dari salah seorang imam universal tersebut.


Menurut Kitab Wahyu, sang perempuan yang untuk memimpin semua bangsa itu adalah imam terakhir. Kitab Wahyu sendiri setelah itu tidak pernah lagi menceritakan tentang adanya imam lain yang akan memimpin dunia kecuali anak dari sang perempuan tersebut. Oleh sebab itu, bayi yang dikandung oleh sang perempuan ini pastilah imam terakhir atau Imam Kedua belas setelah Sang Mesiah. Sedangkan ayahnya pastilah imam kesebelas yang berasal dari ketu­runan Sang Mesiah.

Ketiga, ketika terjadinya pernikahan antara Sayidah Narjis Khatun as dan Imam Hasan al-Askari as, maka hal itu menandakan bahwa imamah dan kerajaan besar[19] yang dianugerahkan Tuhan kepada keluarga Ibrahim as telah menyatu. Setiap pembaca al-Kitab—Yahudi maupun Kristen—jelas mengetahui bagaimana al-Kitab menjelaskan kekuatan, kemuliaan dan keperkasaan Yusuf dan keturunannya di masa lalu. Doa Ya’qub as dalam al-Kitab kepada Yusuf as dan keturunannya cukup sebagai bukti di atas:

Yusuf adalah seperti pohon buah-buahan yang muda, pohon buah-buahan yang muda pada mata air. Dahan-dahannya naik mengatasi tembok.

Walaupun pemanah-pemanah telah mengusiknya, memanah­nya dan menyerbunya,
namun panahnya tetap kokoh dan lengan tangannya tinggal liat, oleh pertolongan Yang Mahakuat pelindung Yakub, oleh sebab gembalanya Gunung Batu Israel,
oleh Allah ayahmu yang akan menolong engkau, dan oleh Allah Yang Mahakuasa, yang akan memberkati engkau dengan berkat dari langit di atas, dengan berkat samudera raya yang letaknya di bawah, dengan berkat buah dada dan kandungan.

Berkat ayahmu melebihi berkat gunung-gunung yang sejak dahulu, yakni yang paling sedap di bukit-bukit yang berabad-abad; semuanya itu akan turun ke atas kepala Yusuf, ke atas batu kepala orang yang teristimewa di antara saudara-saudara­nya. (Kejadian 49: 22-26)


Keempat, berita penting untuk dipahami dalam nubuat Kitab Wahyu adalah mengenai bayi yang dilahirkan sang perempuan. Nubuat Kitab Wahyu mengatakan: “Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi.” Maksudnya, sang anak akan menggembalakan seluruh bangsa dengan ketegasan dan 'kekerasan'. Menurut riwayat hadis-hadis disebutkan bahwa Imam Mahdi as akan bersikap tegas dalam kepemimpinannya. Beliau tidak kenal kompromi dalam menumpas siapa pun yang menghalangi misinya.

Seluruh nubuat di atas pasti tidak mungkin menggambarkan figur Nabi Muhammad saw, karena kemunculan sang anak menurut Kitab Wahyu berdekatan dengan Hari Kiamat yang mana dia akan ber­perang melawan Gog dan Magog setelah penguasaanya atas dunia. Selain itu, nubuat ini tidak mungkin mewakili figur Yesus umat Kristen yang terkenal lemah lembut dan pemaaf. Nubuat ini juga tidak mungkin ditafsirkan untuk Mesiah-nya umat Yahudi yang konon berasal dari keturunan Daud as. Perlu diketahui bahwa figur Mesiah Daud atau ideologi tentang Davidic Messiah sebenarnya memang suatu propaganda palsu yang dibuat oleh para pembesar Kerajaan Yudea di masa lalu untuk melestarikan kekuasaan mereka. al-Kitab sendiri menyatakan bahwa Sang Mesiah akan datang dari putra Ibrahim as yang dikorbankan, yaitu Ismail as, tetapi mereka telah mengubahnya menjadi Ishak as supaya klaim atas kemesiahan dapat diberikan kepada suku Yehuda.

***

Di luar masalah kecocokan figur, nubuat Kitab Wahyu memang tidak pernah terkait dengan jabatan kenabian seorang nabi. Artinya, sang anak memang bukan seorang nabi. Nubuat Kitab Wahyu selalu berbicara mengenai para imam dan pemerintahan mereka sebagai­mana disebutkan dalam beberapa ayat lanjutannya. Di bawah ini adalah beberapa contohnya:

Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi. (Wahyu 5: 10)

Dan aku mendengar suara yang nyaring di surga berkata: “Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerin­tahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya, karena telah dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita.” (Wahyu 12:10)


Kata “imam-imam” pada ayat di atas merupakan terjemahan dari bahasa Yunani Hiereus (baca: hee-er-yooce’) yang artinya dalam bahasa Inggris adalah Priest atau High Priest. Kata ini bukan mem­berikan arti bahwa mereka adalah pendeta, pastur, paderi, kardinal, uskup, Paus atau lainnya. Istilah-istilah tersebut sangat asing dan tidak pernah dikenal sebelumnya dalam ajaran bangsa Israel.
Kitab Wahyu adalah kitab yang berbicara tentang akhir zaman kepada bangsa Israel dan mengikuti ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Umat Yahudi dan Kristen memang mengakui bahwa kata “imam-imam” yang dimaksudkan Kitab Wahyu seperti pada ayat-ayat di atas sebenarnya identik dengan Kohen atau Nuqabâ’ (bentuk jamak dari naqîb) bangsa Israel. Selain hiereus, istilah asing lainnya untuk Kohen bangsa Israel adalah Sacerdos seperti dalam bahasa Latin.

Akhirnya, kecuali mengakui bahwa nubuat Kitab Wahyu memang terkait dengan figur para imam Ahlulbait Nabi Muhammad saw (termasuk Imam Mahdi as), maka tidak akan pernah ada satu figur manusia manapun, baik menurut ajaran Yahudi maupun Kristen, yang dapat memanifestasikan nubuat tersebut. Bukti lain yang menguatkan bahwa nubuat Kitab Wahyu terkait dengan Imam Mahdi as adalah bagian akhir ayat yang menyatakan: “Tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya”.[20] Kalau ini tidak berarti untuk kegaiban Imam Mahdi as, maka tidak akan pernah ada satu interpretasi apapun yang mampu menjelaskan makna sesungguhnya nubuat ini.
Wacana-wacana profetik lainnya dalam Kitab Wahyu yang juga menakjubkan adalah nubuat tentang munculnya kuda-kuda beserta para penunggangnya dengan warna dan ciri tertentu menjelang era kebangkitan Imam al-Mahdi as. Nubuat-nubuat itu adalah sebagai berikut: pertama, nubuat kemunculan kuda putih:

Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda putih dan orang yang menungganginya memegang sebuah panah dan kepadanya dikaruniakan sebuah mahkota. Lalu ia maju seba­gai pemenang untuk merebut kemenangan. (Wahyu 6: 2 dan 19: 11-16)

Kedua, nubuat kemunculan kuda merah:
Dan majulah seekor kuda lain, seekor kuda merah padam dan orang yang menungganginya dikaruniakan kuasa untuk mengambil damai sejahtera21 dari atas bumi, sehingga mereka saling membunuh, dan kepadanya dikaruniakan sebilah pedang yang besar. (Wahyu 6:4)

Ketiga, nubuat kemunculan kuda hitam.
Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hitam dan orang menungganginya memegang sebuah timbangan di tangannya. (Wahyu 6:5)

Keempat, nubuat kemunculan kuda hijau dan kuning:
Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hijau kuning dan orang yang menungganginya bernama Maut dan kerajaan maut mengikutinya. Dan kepada mereka diberikan kuasa atas seperempat dari bumi untuk membunuh dengan pedang, dan dengan kelaparan dan sampar, dan dengan binatang-binatang buas yang di bumi. (Wahyu 6:

Seluruh ayat di atas merupakan sebagian dari gambaran-gam­baran nubuat yang terdapat dalam Kitab Wahyu. Makna kuda pada ayat di atas adalah kiasan dan bukan sungguhan. Kuda melam­bang­kan gerakan dan mobilisasi. Ia mewakili kekuatan, kesatuan pasukan, kebisingan dan kegaduhan. Sebelum era mesin dan teknologi, manu­sia berperang dengan menunggangi kuda dan pemimpin pasukan akan selalu membawa bendera yang mewakili kelompok dan misi perjuangan masing-masing. Gambaran seekor kuda dengan penung­gangnya merepresentasikan pemimpin suatu kelompok pergerakan. Maksudnya, di belakang sang penunggang itu terdapat sejumlah pengikut lain yang mendukung pemimpin mereka.

Sedangkan warna bisa berarti simbol untuk suatu bangsa, kelom­pok, ideologi, ajaran, pemikiran atau agama. Apa yang dipegang atau digenggam oleh sang penunggang merefleksikan tujuan dari pergerakan mereka. Memberikan interpretasi seperti ini untuk mema­hami suatu nubuat adalah umum. Namun, seluruh interpretasi seperti itu hanya menafsirkan semangat dan bukan gambaran seutuhnya dari nubuat yang dimaksud.

Wacana profetis yang benar adalah visi dari Tuhan kepada seorang nabi dan interpretasi yang benar mengenai suatu visi kenabian sebenarnya hanya bisa dijelaskan secara utuh melalui ilmu dan lisan nabi itu sendiri atau nabi lainnya. Dengan demikian, apabila nubuat Kitab Wahyu memang merupakan visi kenabian nabi bangsa Israel mengenai kedatangan Imam Mahdi as, kejadian-kejadian akhir zaman dan kebangkitan, maka mungkinkah ada seorang pemberi penjelasan yang lebih akurat dan lebih tepat dari Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw serta para imam Ahlulbait?

***

Ada beberapa riwayat hadis Suni maupun Syiah yang menjelas­kan tentang tanda-tanda akhir zaman. Beberapa hadis menyebutkan bahwa menjelang akhir zaman nanti akan muncul sejumlah kelompok yang akan membawa beberapa bendera dengan warna dan ciri ter­tentu. Bendera itu akan mewakili ideologi, kepemimpinan, kekuatan dan pergerakan. Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:

Pertama, hadis-hadis mengenai kemunculan warna putih.

Muhammad bin al-Hanafiyah berkata: “Setelah keluar bendera hitam kepunyaan Bani Abbas, keluar bendera hitam lain dari Khurasan. Songkok-songkok mereka hitam dan pakaian-pakaian mereka putih. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki bernama Syu‘aib bin Shaleh atau Shaleh bin Syu‘aib dari Bani Tamim. Mereka akan mengalahkan kelompok as-Sufyani, sampai tiba di Baitul Maqdis. Di sana mereka mengukuhkan kekuasaan al-Mahdi. Gerakan ini dibantu oleh tiga kelompok dari Syam yang antara hal ini dan penyerahan kekuasaan kepada al-Mahdi berjarak 72 bulan.”

Kedua, hadis-hadis mengenai kemunculan warna hitam:

Imam al-Baqir as berkata: “Bendera-bendera hitam akan datang dari Khurasan menuju Kufah. Bila al-Mahdi sudah keluar, mereka akan mengirimkan seorang utusan untuk membaiatnya.”
Ibnu Hammad meriwayatkan dalam manuskripnya hadis berikut ini:
“Bendera-bendera hitam akan tiba dari Khurasan menuju Kufah. Manakala al-Mahdi muncul di Mekah, mereka akan mengirim utusan untuk membaiat al-Mahdi.”

Ketiga, hadis-hadis mengenai kemunculan merah:

Amirul Mukminin as berkata: “Untuk itu ada tanda-tanda dan petunjuk-petunjuknya… keluarnya Sufyani dengan membawa bendera merah beserta seorang panglima yang berasal dari Bani Kalb.”
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Arathah bin al-Munzhir ber­kata:
Akan keluar si buruk dan terkutuk itu dari arah al-Mandarun, sebelah timur Bisan, menunggang kuda merah dan mengenakan mahkota.”

Keempat, hadis-hadis mengenai kemunculan kuning.

Nabi saw bersabda: “Wahai ‘Auf, hitung sampai enam (peristiwa besar) sebelum terjadi Hari Kiamat… sebuah fitnah di mana tidak ada satu rumah orang Arab melainkan dimasukinya, lalu genjatan senjata antara kalian dan orang-orang kulit kuning (bani al-ashfar). Kemudian mereka akan berkhianat dan mendatangi kalian dengan membawa 80 ghâyah, setiap ghâyah beranggotakan 12.000 (tentara).”
Apabila mengikuti hadis-hadis tersebut di atas, sebenarnya dapat terlihat jelas bahwa nubuat-nubuat Kitab Wahyu masih terselemuti makna-makna metaforis, sedangkan hadis-hadis Nabi sudah memiliki penjelasan yang lebih spesifik.

***

Untuk mengakhiri pembahasan mengenai nubuat-nubuat seputar kedatangan Imam Mahdi as, sebenarnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

A. Mesianisme Menurut Ajaran Yahudi,

Kesalahan terbesar ajaran Yahudi mengenai pemahaman mereka atas konsep Mesiah sebenarnya terjadi akibat dua hal: pertama, disebabkan oleh kesengajaan mereka di masa lalu mengubah kisah pengorbanan Ibrahim as dan putranya yang akan membawa ketu­runan Mesiah, yaitu: dari yang seharusnya Ismail as menjadi Ishak as. Hal ini menjadi benang merah seluruh kesalahan ajaran mereka, dengan menggantikan nama Ismail as menjadi Ishak as, pada akhir­nya generasi-generasi lanjutan bangsa Israel sampai hari ini sebenarnya menantikan kedatangan figur Mesiah yang memang tidak akan pernah eksis sama sekali. Runtunan kesalahan itu pun membawa konsekuensi ideologis atas agama yang mereka yakini. Sedangkan kesalahan kedua merupakan akibat dari ulah mereka yang pertama tadi, sehingga terjadi tabrakan figur mesianistik yang akan datang menjelang Hari Kiamat dalam keyakinan mereka.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa figur-figur mesianistik yang seharusnya adalah tiga orang dan bukan dua, yakni “Sang Nabi Elia”, “Sang Mesiah” dan “Sang Imam akhir zaman”. Umat Yahudi telah menyatukan figur “Sang Mesiah” dengan “Sang Imam akhir zaman”, sehingga mereka meyakini dua figur mesianistik saja. Hal ini tidak mengherankan, karena kedua figur itu secara faktual memang memiliki nama yang sama, yaitu Muhammad saw (atau Sang Mesiah) dan Muhammad al-Qa’im (atau Imam Mahdi as).

Sebab lainnya adalah kesalahan pemahaman mereka akan jabatan masing-masing figur mesianistik tersebut, yakni Nabi Muhammad saw dan Imam Mahdi as. Nabi Muhammad saw adalah nabi, rasul dan imam, sedangkan Muhammad al-Mahdi as hanya seorang imam dari keturunan beliau. Namun, karena umat Yahudi mengasumsikan bahwa mereka adalah dua figur yang sama, maka konsekuensinya yang datang nanti adalah satu orang saja, yaitu orang yang akan menjadi nabi, rasul dan imam sekaligus.
B. Mesianisme menurut Ajaran Kristen

Kesalahpahaman Kristen mengenai konsep mesianisme juga mengikuti pola yang sama. Umat Kristen sebenarnya merupakan victim atau korban dari konflik internal bangsa Israel mengenai konsep kemesiahan. Ketika Yesus dipaksakan menjadi Mesiah, maka mereka juga terpaksa harus meng-“Elia”-kan Nabi Yahya as atau Yohanes Pembaptis. Tanpa mendudukkan Nabi Yahya as sebagai figur “Sang Nabi Elia”, maka otomatis Yesus juga tidak bisa di-Mesiah-kan. Ungkapan ‘Kristen Katholik’ secara harfiah berarti mesiah (Kristos) dan universal (Katholikos), atau ajaran yang meyakini bahwa Yesus (Nabi Isa as) adalah Mesiah Universal yang pernah dijanjikan Tuhan kepada bangsa Israel.
Adapun mengenai kedatangan Yesus yang kedua dari langit menjelang akhir zaman nanti, sebenarnya merupakan konsekuensi atas logika berpikir yang mereka gunakan. Memang betul bahwa Mesiah yang terakhir akan datang sebelum Hari Kiamat, tapi sebenar­nya mereka adalah dua figur manusia yang saling berbeda, termasuk dalam jabatan, tugas dan misi masing-masing. Ajaran Kristen, seba­gaimana halnya Yahudi, meyakini bahwa putra Ibrahim as yang dikorbankan adalah Ishak as. Sebagai akibatnya, umat Kristen juga sebenarnya meyakini dua figur mesianistik saja. Perbedaannya, mereka menganggap bahwa kedatangan Yesus yang pertama telah terjadi dan tinggal menunggu kedatangannya yang kedua (terakhir) menjelang akhir zaman. Namun, mereka meyakini bahwa figur mesianistik yang terakhir nanti adalah orang yang sama atau Yesus Kristus itu sendiri.
Pada hakikatnya, figur mesianistik yang kedua dan ketiga memang memiliki nama yang sama, hanya saja mereka bukan satu orang tetapi dua figur manusia yang berbeda. Lalu, bagaimana dengan riwayat hadis-hadis seputar kedatangan Isa as pada akhir zaman nanti menurut sumber-sumber otentik Ahlusunah dan Syiah? Jawabnya: hadis-hadis itu memang benar, bahkan satu-satunya figur nabi yang digambarkan akan datang menjelang akhir zaman nanti di dalam Kitab Wahyu adalah Yesus atau Nabi Isa as. Hanya saja, Mesiah Akhir Zaman yang dimaksudkan bukanlah Yesus atau Nabi Isa as, melainkan Imam al-Mahdi.

C. Mesianisme Menurut Ajaran Ahlusunah

Mayoritas umat Islam di dunia saat ini didominasi oleh penganut ajaran Ahlusunah atau kelompok Islam yang meyakini bahwa setelah Rasulullah saw wafat, kepemimpinan setelah beliau dipilih melalui sistem musyawarah atau konsensus dan bukan berdasarkan nas seperti yang dipahami Syiah Imamiyah. Artinya, kelompok ini meyakini bahwa kenabian (nubuwwah) adalah dengan nas tetapi imamah tidak demikian, sehingga mereka boleh dipilih oleh umat Islam.

Singkatnya, walaupun penolakan Ahlusunah atas nas-nas imamah terkesan sepele, akan tetapi ketika mereka menolak duabelas orang imam yang datang dari Ahlulbait Nabi saw, maka pada akhirnya mereka tidak memiliki satu figur manusia rujukan atau role-model yang dapat memelihara mereka dari berbagai macam kesalahan di dalam menginterpretasikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Sungguh tidak mengherankan bahwa sekalipun jumlah Ahlusunah adalah mayoritas tetapi mereka sendiri terkotak-kotak melalui beragam­nya mazhab akidah dan fikih dimana antara satu mazhab dengan yang lain tidak sejalan.

Salah satu kebingungan terbesar di kalangan umat Ahlusunah adalah kerancuan mereka dalam memahami figur Imam al-Mahdi as. Bahkan, di antara mereka ada yang menolak hadis-hadis mengenai kedatangannya karena tidak tahu bagaimana dan dengan cara apa mereka bisa memahami figur tersebut. Hal ini tidak mengejutkan, karena ketika kenabian Nabi Muhammad saw dipisahkan dari ajaran imamah yang disampaikannya, maka pijakan keagamaan dan keya­kinan mereka juga pasti mengalami kerancuan sebagaimana ajaran Yahudi yang terbingungkan dalam memahami Sang Mesiah Akhir Zaman.
Mayoritas Ahlusunah yang masih menerima hadis-hadis tentang kedatangan Imam Mahdi as berusaha untuk mencari-cari makna-makna lain terhadap hadis-hadis itu. Namun, pemahaman ini pun pada akhirnya dapat dipastikan akan menyimpang, sehingga tidak aneh apabila sejarah mereka dipenuhi oleh beberapa figur manusia yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi.

Hadis-hadis Ahlusunah mengenai Imam Mahdi umumnya ter­batas dan hanya menyebutkan bahwa al-Mahdi akan memiliki nama yang sama dengan Nabi Muhammad saw dan dia akan berasal dari keturunan Sayidah Fatimah as melalui Imam Husein as. Selain itu, disebutkan juga bahwa al-Mahdi adalah seorang Imam.

Nah, dengan demikian, untuk menghindari kesalahpahaman di dalam memahami figur Imam Mahdi as dan tidak terjebak oleh Mahdi-mahdi palsu, buku yang ada di tangan saudara-saudara sekarang merupakan sebuah karya luar biasa yang dalam pemba­hasannya telah mengadopsi dua sumber riwayat, yaitu Ahlusunah dan Syiah serta mengkompromikannya.

Di awal pembahasan, penulis akan mengajak kita untuk mema­hami tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi as sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait as. Ketelitian penulis di dalam menyusun argumen didukung metode pola pikir yang rasional pasti akan membawa Anda kepada kesadaran akan kebutaan kita selama ini di dalam memahami hadis-hadis tentang Imam Mahdi as.

[Catatan: Untuk meninjau sumber yang saya gunakan dalam kajian ini, silahkan anda merujuk kepada pengantar saya selengkapnya di buku “Imam Mahdi Dari Era Kebangkitan Sampai Kedatangan” karya Prof. Ali Qurani, Penerbit Misbah, 2004]
musadiqmarhaban.wordpress.
com

Tidak ada komentar: